Wednesday, October 7, 2015

Satu Malam di Musim Gugur

Amstelveen, Amsterdam
Netherlands
6 October 2015

Suatu malam di musim gugur.
Entah sudah berapa malam yang sering kuhabiskan di negri orang, malam-malam yang tak bermakna yang hadirnya pergi dan dimakan fajar dan begitu seterusnya. Andai saja kali ini fajar menyingsing lebih cepat dari dentuman jarum jam yang tersemat lekat di tangan kiriku. Kupandangi langit malam ini, sama hampanya dengan tatapan nanar seorang gadis diseberang sana, entah apa yang menjadi laranya. Dinginnya angin di musim gugur seakan mampu membekukan aliran darah yang mengalir ke jantungku, berlebihan memang, bukankah sesuatu yang dilebih-lebihkan lebih banyak dipercayai khalayak umum dewasa ini? Aaah bicara apa aku ini, kupandangi cahaya kecil diseberang sana, yang temaramnya menghiasai sebuah taman yang kurang lebih menyerupai sebuah hutan kecil.

source



Sebuah helahan napas, yang tak kupahami artinya, namun logikanya pun tak kudapatkan setelah menelaah lebih lanjut lagi tujuannya. Orang bilang, hati dan pikiran tak pernah sejalan? seharusnya iya memang, tapi kali ini mereka seakan sepakat pada kehidupan? takdir? atau apalah itu.. yang kupahami bahwa dalam setiap tarikan napas yang berat ada duka dan lara didalamnya. Tenggorokan seaakan tercekat, dadapun terasa sesak, pikiran ini tidak pernah terlalu gelap, yang mungkin gelapnya melebihi awan di malam ini. Kunyalakan sebatang rokok, yang katanya mampu menenangkan pikiran, tidak pernah kusetujui kalimat ini, namun apa daya dalam keterbatasanku yang berpikirpun aku sulit, apalagi untuk menyanggahnya? Asapnya seakan membuat ilusi, ilusi memang lebih mudah untuk dipahami bagi sebagian orang daripada mempercayai adanya keberadaan sang pencipta.

Entah apa tujuannya dari tulisan ini? haruskah aku mempunyai alasan tertentu untuk menulis? bisakah sekali saja sesuatu yang ada tercipta tanpa alasan? mungkin tidak, mungkin iya. Sial, memang ada alasannya, tapi penulisnya saja yang tak mau jujur sebenarnya apa maksud dari tujuan tulisan ini. Senyum kekalahan tersurat diraut wajahku, yang jari-jarinya sembari tetap mengetik. Ingin rasanya membagi masalah ini, ingin rasanya menuangkan semua keacakan hati ini, tapi logikanya tidak masuk, dan bukan menjadi kebiasaanku untuk mempublikasikan masalah.

Satu hal yang selalu menjadi keyakinanku, bahwa setiap orang yang pernah masuk dalam hidupmu selalu membawa pesan, entah untuk membuatmu tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, entah untuk membuka satu lagi pintu sudut pandang, atau sesederhana untuk membuat anak manusia menjadi dewasa. Aaah kadang aku lelah menjadi terlalu baik, lelah untuk terus berpikiran yang baik-baik, sekali saja inginku untuk berpikir bahwa kehadirannya hanya membawa petaka. Akupun tidak tahu petaka macam apa, tapi sepertinya memang aku tidak ditakdirkan untuk berpikiran sejahat itu, kembali lagi pada ide awal, pesan. Membawa pesan kepada setiap insan manusia. Begitu lebih baik, lebih masuk akal. Kadang dengan keterbatasanku, aku bertanya, entah kepada siapa, mungkin kepada egoku, bisakah aku memilih siapa saja yang boleh masuk kedalam hidupku? lelah rasanya untuk kembali membangun tembok "keamanan" untuk diri sendiri. Berkali kali kuciptakan batasan antara diriku dan orang lain, untuk "aman" kataku sambil tersenyum, entah aman dari apa dan siapa, yang kukagumi hanya idenya saja, "melindungi". 

"People are not afraid of height, they afraid of falling." Kalimat ini terpatri dalam sudut pikiranku, tentu saja ini menjadi sebuah tamparan realita, aku bukan takut tersakiti, mungkin takut untuk "ditelanjangi", aku begitu takut untuk berbagi hal yang sifatnya terlalu personal yang segala kelemahan dan kuatku terbuka untuk umum, disitu saya merasa lemah. Mungkin bukan takut tersakiti, tapi mungkin lelah menangis, mungkin ketika menangis aku merasa kalah, aku merasa cukup sudah untuk menitikan satu tetes saja air dari mata ini, tidak lagi, tidak akan pernah. Lelah untuk memulai semuanya dari awal lagi. Ingin rasanya kucaci hati ini karna begitu lemah, ketika sudah berkali-kali otak ini dilatih untuk cobaan semacam ini, lagi-lagi organ tubuh yang satu itu menjadi pecundang di medan perang... Aaah hati.. Aaah "cinta".. Aaah omong kosong..

Kenyataannya? sebuah tamparan realita tepat mendarat dihadapanku :P ketika kamu tahu bahwa kamu tidak akan pernah menang dari segi manapun? Bukan seberapa kuat kakimu untuk terus berjalan, tetapi seberapa tak tahu malunya diri ini untuk tetap berani menjalaninya dari awal. Aku sendiri pernah bertanya kepada gadis diseberang sana, mau sampai kapan dia terus menjalani hal yang sama dengan situasiku, bukannya mendapat jawaban, si gadis berlari makin jauh yang terdengar hanya suara tawanya yang lirih namun sorot matanya muram. Tertawa macam apa itu, mungkin dia lelah guraku, seakan menguatkan.. Aaah sudahlah, sudah malam, fajar akan menyingsing seperti malam-malam sebelumnya, ijinkan aku mengucapkan selamat malam :)

No comments:

Post a Comment